Jumat, 23 November 2012

DIMENSI DINAMIS ILMU



 
 
 
 
 
 
Rate This

Tiga filsuf ini (Thomas S. Kuhn, Paul Feyerabend, dan Imre Lakatos) termasuk para ilmuwan dan filsuf yang membawa pemikiran baru mengenai filsafat ilmu. Pemikiran mereka yang lahir di akhir abad ke-20 pertama-tama dipicu oleh sikap kritis mereka terhadap pandangan filsafat ilmu pada abad 20.
Karena itu, penting bagi kita untuk mengerti konteks pemikiran filsafat ilmu pada abad 20 supaya bisa memahami pemikiran-pemikiran Kuhn, Feyerabend, dan Lakatos.
Lingakaran Wina
Lingkaran Wina (Vienna Circle) adalah suatu kelompok yang terdiri dari sarjana-sarjana ilmu pasti dan ilmu alam di Wina. Kelompok ini didirikan oleh Moritz Schlick tahun 1924.
Pertemuan-pertemuan antarpara ilmuwan sebenarnya sudah dimulai sejak tahun 1922 dan berlangsung terus sampai tahun 1938. Anggota kelompok antara lain: Moritz Schlick, Hans Hahn, Otto Neurath, Hans Reichenbach, dan Victor Kraft.
POKOK-POKOK PEMIKIRAN
Alirannya disebut NEOPOSITIVISME atau POSITIVISME LOGIS atau EMPIRISME LOGIS.  Hanya ada satu sumber pengetahuan, yakni PENGALAMAN. Pengalaman di sini adalah pengenalan data-data indrawi.  Ada dalil-dalil logika yang berguna untuk mengolah data pengalaman indrawi menjadi suatu keseluruhan yang meliputi segala data. Dalil-dalil logika itu bersifat tautologi (subjek dan predikat).
Preokupasi utama: mencari demarkasi antara pernyataan yang bermakna (meaningful) dan pernyataan yang tidak bermakna (meaningless).
Kriterianya: apakah suatu pernyataan memiliki kemungkinan untuk diverifikasi atau tidak. Karena itu, hanya ada 2 pertanyaan yang relevan ketika berhadapan dengan pengalaman: (1) How do you know? (=how do you verify?), dan (2) what do you mean?
Akibatnya: Filsafat tradisional harus ditolak karena ungkapan-ungkapannya melampaui pengalaman. Semua ungkapan teologis lebih tidak bermakna lagi, demikian juga etika, metafisika, dst.
Karena itu, tugas filsafat = memeriksa susunan logis bahasa ilmiah, baik dalam perumusan penyelidikan ilmu alam maupun dalam bidang logika dan matematika.  Satu-satunya bahasa yang dipakai adalah bahasa dan cara kerja ilmu alam.
Filsafat ilmu menurut positivisme logis
Filsafat ilmu pengetahuan = logika ilmu. Jadi, lebih mengurusi bentuk-bentuk logis pernyataan ilmiah, bukan isi pernyataan ilmiah tersebut. Jadi, kerja seorang filsuf ilmu hanyalah melakukan konstruksi representasi formal dari ungkapan-ungkapan ilmiah. Dia tidak usah mempedulikan detail dan perkembangan ilmu dan perubahan teori ilmiah.
Jadi, tidak ada konteks penemuan (context of discovery) dari ilmu pengetahuan. Yang ada hanya konteks pengujian dan pembenaran (context of justification) ilmu pengetahuan.
Jadi, filsafat ilmu = logika ilmu SEMAKIN JAUH DARI KENYATAAN.
BEBERAPA TOKOH
Pemikir yang terkenal karena pengaruh positivisme logis adalah Ludwig Wittgenstein (1889 – 1951) dengan karya termasyurnya berjudul Tractus Logico Philosophicus (1921).
Bagi dia, kerangka pikiran dan penalaran logismatematis adalah cerminan atau lukisan (picture) dari kenyataan yang mau dikenal manusia. Semakin kita memperoleh pandangan yang secara logis paling terinci, makin kita dekat dengan pandangan tentang kenyataan dengan segala hubungan yang terjadi di dalamnya.
Karl Raimund Popper
Mengeritik beberapa pandangan dari Lingkaran Wina. Kritik dan pandangannya dapat ditelusuri melalui pendapat dia mengenai dasar logis cara kerja ilmu empiris, andangan mengenai sejarah ilmu-ilmu dan pandangan mengenai tiga dunia.
Menolak pembedaan antara ungkapan yang bermakna (meaningful) dan ungkapan yang tidak bermakna (meaningless) berdasarkan kriterium dapat tidaknya suatu pernyataan dibenarkan secara empiris.
Dia mengganti pembedaan itu dengan mengemukakan pembedaan baru berdasarkan apakah suatu pernyataan bersifat ilmiah atau tidak imiah. Dasarnya tetap pada ada atau tidak adanya dasar empiris bagi ungkapan bersangkutan. Ungkapan yang tidak bersifat ilmiah mungkin saja sangat bermakna.
Demarkasi antara suatu ungkapan bermakna atau tidak bermakna, yakni realitas empiris dan yang menjadi fondamen seluruh pernyataan ilmu pengetahuan justru rapuh karena kelemaha internal dari cara kerja induksi itu sendiri. Induksi mengandalkan generalisasi, padahal peralihan dari sesuatu yang partikular ke yang bersifat universal justru salah secara logis.
Jadi, demarkasinya harus ada pada fondamen FALSIFIABILITAS = ciri khas ilmu pengetahuan adalah apakah ilmu tersebut dapat dibuktikan salah (it can be falsified).
Metode falsifikasi sederhana saja: dengan observasi terhadap angsa-angsa putih, betapun besar jumlahnya, orang tidak dapat sampai pada kesimpulan bahwa semua angsa berwarna putih, tetapi sementara itu cukup satu kali observasi terhadap seekor angksa hitam untuk menyangkal pendapat tadi.”
Jadi, dengan pembuktian seperti itulah sebuah hukum ilmiah berlaku: bahwa bukan apakah suatu hukum ilmiah dapat dibenarkan melainkan dapat dibuktikan salah.
Ilmu pengetahuan berkembang berdasarkan dinamika falsifikasi ini. Sebuah hipotesa segera ditinggalkan begitu dibuktikan salah, dan diganti dengan hipotesa baru. Atau, jika hanya satu unsur dalam hipotesa yang dibuktikan salah, maka unsur itu itinggalkan dan segera diganti dengan unsur baru.
Suatu teori baru akan diterima kalau sudah terbukti bahwa teori itu dapat meruntuhkan teori lama yang ada sebelumnya. Pengujian lain untuk menegaskan keilmiahan suatu teori adalah melalui TES EMPIRIS. Tes ini direncanakan untuk membuktikan salah sesuatu yang diuji (memfalsifikasi). Teori yang dapat dibuktikan salah akan segera BATAL, dan teori yang bertahan dalam falsifikasi akan dipertahankan sampai ditemukan cara pengujian yang baru atas teori.
Bagi Popper, pengetahuan maju bukan karena akumulasi pengetahuan, melainkan lewat proses eliminasi yang semakin kerasterhadap kemungkinan kekeliruan dan kesalahan. Karena itu, epistemologinya Popper disebut EPISTEMOLOGI PEMECAHAN MASALAH.
Pandangan Tentang 3 Dunia
Dunia 1
Kenyataan dunia fisis
Objektivisme kasar
Dunia 2
Kenyataan psikis dalam diri manusia
Subjektivisme semata
Dunia 3
Sintesa objektivisme dan subjektivisme
Hipotesa, hukum, teori ciptaan manusia.
Hasil kerja sama antara dunia 1 dan dunia 2
Seluruh bidang kebudayaan, seni, metafisika, agama, dll.
Dunia 3
Dunia 3 hanya ada ketika dihayati, yakni dalam karya dan penelitian ilmiah, dalam studi yang sedang berlangsung, membaca buku, dalam ilham yang sedang mengalir dalam diri para seniman, dan penggemar seni yang mengandaikan adanya suatu kerangka.
Sesudah penghayatan, semuanya mengendap menjadi bentuk-bentuk fisik (dunia 1).
Ketika manusia menggauli dunia 3 dan dunia 1, manusia membangkitkan kembali dan mengembangkan kemampuan psikisnya dalam dunia 2 lalu menghasilkan dunia 3, begitu seterusnya.
Thomas S. Kuhn
Karyanya yang terkenal: The Structure of Scientific Revolution (1962) dan terbit edisi revisi tahun 1970. Menolak pemikiran Popper yang melihat gerak perkembangan sains berdasarkan proses falsifikasi terhadap suatu teori. Bagi Thomas Kuhn, perkembangan ilmu pengetahuan harus dipotret dari sejarah perkembangan ilmu itu sendiri. Bagi dia, sejarah perkembangan ilmu akan menunjukkan bahwa ilmu pengetahuan tidak berkembang melalui proses falsifikasi, tetapi terjadi secara revolusioner.
Struktur Revolusi Ilmiah
Menurut Kuhn, terdapat 3 tahap atau fase yang harus dilalui bagi terjadinya perubahan atau revolusi ilmiah. Ketiga tahap itu adalah (1) Fase praparadigmatik; (2) fase sains normal, dan (3) fase anomali yang kemudian menghasilkan revolusi ilmiah.
Fase Praparadigma
Sebelum sebuah disiplin keilmuan terbentuk, biasanya ada fase panjang praparadigma. Fase ini ditandai oleh penelitian yang masih taraf permulaan (inchoate) dan tak terarah (directionless) mengenai tema atau topik tertentu. Ini adalah fase yang panjang dan melelahkan serta fase yang menunjukkan adanya kemajemukan.
Ada juga banyak aliran pemikiran atau sekolah yang saling berkompetisi. Masing-masingnya memiliki konsepti yang berbeda secara fundamental mengenai apa masalah utama dari disiplin mereka dan kriteria apa yang digunakan untk mengevaluasi teori-teori yang menjadi prinsip penjelasan dalam kelompok mereka.
Lahirnya Sains Normal
Selama berbagai aliran pemikiran dan kompetisi berbagai teori berlangsung dalam fase praparadigma, dalam perkembangannya akan muncul atau menonjol suatu aliran pemikiran atau sekolah tertentu dan kemudian mendominasi berbagai diskusi dan perbincangan keilmuan.
Ilmuwan mulai merujuk pada disiplin tersebut karena kemampuannya dalam penjelaskan masalah-masalah yang timbul. Dan bahwa disiplin yang baru ini juga menjanjikan masa depan penelitian yang lebih sukses. Dari sini berangsur-angsur lahirnya paradigma.
Paradigma
Dasar dari setiap ilmu pengetahuan normal. Ilmu pengetahuan normal menghidupkan dan mempertegas fakta dan teori yang sudah ada. Beberapa karakteristik dalam paradigma:

  • Ilmuwan memperluas pengetahuan dan mencari ketepatan fakta. Ilmuwan tidak mencari prinsip penjelas di luar bidang keilmuannya. Dengan demikian, ilmuwan menjelaskan fakta yang sudah dia kenal dengan cara baru.
  • Ilmuwan hanya bergelut dengan fakta yang berhubungan langsung dnegan implikasi dari teorinya.
  • Ilmuwan dapat menemukan fakta-fakta baru, tetapi sebenarnya ini merupakan pengungkapan kembali dari apa yang sudah ada secara implisit dalam paradigma yang sudah ada.
  • Penelitian dan pembuktian hanya untuk mempertajam teori.
  • Paradigma memiliki kemampuan memecahkan masalah terhadap fakta-fakta yang muncul dalam lingkup paradigma tersebut.
Komunitas Ilmiah
Paradigma dalam sains normal didukung oleh sebuah komunitas ilmiah (scientific community) yang melakukan kerja keilmuwan untuk mengembangkan ilmunya.
Para ilmuwan dalam komunitas ilmiah dipersatukan oleh pendidikan, interaksi profesional dan komunikasi (mis. Jurnal, konvensi), atau yang memiliki interes yang sama terhadap masalah tertentu dan menerima model pemecahan tertentu atas masalah tersebut.
Contoh-contoh paradigma, (1) Teori mekanika dan teori gravitasinya Isaac Newton; (2) Teori kelistrikan dari Franklin; (3)  Teori heliosentris dari Copernicus.
Lahirnya anomali
Situasi di mana sains normal tidak mampu lagi menjelaskan fakta-fakta dan persoalanpersoalan baru. Fakta-fakta sudah tidak sesuai lagi dengan kerangka paradigma baru.
Anomali bisa memunculkan 2 kemungkinan: (1) Penemuan fakta mendorong lahirnya suatu paradigma baru. (2) Perubahan baru selalu menyangkut baik perubahan itu sendiri maupun cara menyikapi perubahan. Anomali memicu lahirnya paradigma baru.
Ketika krisis dan anomali mulai muncul, sikap ilmuwan bisa 2: (1) Mencoba menjelaskan anomali dengan kerangka teori yang sudah ada. Jika berhasil, maka anomali bisa diatasi. Jika tidak berhasil, anomali berlanjut. Di sini krisi memicu ke tidakpercayaan ilmuwan pada skema teori mereka. Akibatnya, timbul ketidakpastian ilmu pengetahuan. Contoh: ketidakpercayaan muncul ketika sistem Ptolomeus tidak mampu menjelaskan posisi bintang dan planet yang tidak berubah-ubah. Sementara kepercayaan lahir ketika muncul teori Copernicus yang lebih mampu menjelaskan, yakni bahwa matahari memang tidak mengalami perubahan posisi menghadapi bumi dan bulan. (2) Mengabaikannya sama sekali. Posisi ini umumnya ditolak oleh ilmuwan yang serius.
Mengkritik Kuhn
Kuhn lupa bahwa setiap penelitian dalam sains selalu diikuti oleh contoh-contoh pengamatan yang bertentangan. Inilah problem yang bertentangan dengan paradigma dan harus dijelaskan (dipecahkan) oleh paradigma tersebut. Problem semacam ini memang tidak bisa ditolak. Tapi Kuhn lupa bahwa sesuatu tidak bisa disebut sebagai problem kalau kita tidak melihatnya sebagai masalah atau problem bagi paradigma yang kita anut.
Ilmu pengetahuan seharusnya tidak identik dengan paradigma. Bahwa ada paradigma-paradigma yang menjadi acuan penjelasan dalam ilmu pengetahuan, dan bukan identifikasi ilmu sebagai paradigma. Karena kalau tidak maka menggantikan paradigma sama saja dengan menggantikan ilmu pengetahuan.
Paul Feyerabend
Bukunya yang terkenal berjudul: Against Method di mana dia mengatakan bahwa pada dasarnya ilmu pengetahuan dan perkembangannya tidak bisa diterangkan ataupun diatur oleh segala macam aturan dan sistem maupun hukum.
Ilmu pengetahuan tidak mengenal aturan metodologis yang selalu digunakan para ilmuwan. Aturan metodologis hanya akan membatasi aktivitas para ilmuwan, dan dengan demikian akan membatasi kemaju ilmu pengetahuan.
Perkembangan ilmu pengetahuan terjadi karena KREATIVITAS INDIVIDUAL. Karena itu, satu-satunya prinsip yang tidak menghambat perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan adalah ANITHING GOES.
Dengan begitu, dia menolak adanya keteraturan dalam perkembangan ilmu. Lalu keteraturan itu diwujudkan dalam hukum dan sistem. Jadi, Feyerabend memang menentang metode.
Mengapa Feyerabend menentang metode? Menurut dia, dalam menjalankan riset dan menjelaskannya, ilmuwan sebaiknya tidak dibatasi oleh metode-metode yang ada. Ilmuwan harus BEBAS.  Kegiatan ilmiah dan ilmu pengetahuan adalah suatu upaya yang anarkistik karena tidak mengandalkan satu metode tertentu.
Bagi dia, sains sebagimana yang kita ketahui selama ini bisa menjadi monster yang mematikan manusia sendiri demi alasan objektivitas. Karena itu, ilmuwan harus dibebaskan dari berbagi belenggu metodologi keilmuan dan dalam KEBEBASANNYA berusaha memahami dan menjelaskan berbagai fakta, gejala, kejadian secara
lebih subjektif dan anarkis. Bahkan filsafat pun harus ditolak karena tidak mampu memberikan deskripsi yang umum mengenai sains. Sains juga tidak sanggup menemukan sebuah metode keilmuan yang bisa membedakan mana yang merupkan produk sains dan mana yang bukan merupakan produk sains, misalnya mitos-mitos. Karena itu, arahan atau bimbingan filosofis sebaiknya diabaikan saja oleh para ilmuwan.
Untuk menjelaskan pandangannya bahwa dalam bekerja ilmuwan tidak membutuhkan metodologi keilmuan tertentu, Feyerabend mengambil contoh revolusi Copernican. Dengan revolusi ini semua metodologi keilmuan yang selama ini ada dalam masyarakat (prescriptive rules) dengan senidirinya ditolak. Revolusi Copernican tidak mungkin akan terjadi jika ilmuwan bekerja mengikuti metode-metode keilmuan tertentu.
Dia juga mengkritik falsifikasinya Popper. Bagi dia, tidak ada satu teori keilmuan pun yang konsisten dengan semua fakta yang relevan. Jadi, kriteria konsistensi dalam menilai kekuatan sebuah teori dengan sendirinya ditolak Feyerabend.
Bagi dia, sains bukanlah satu-satunya penjelas realitas. Dalam masyarakat masih ada sumber-sumber penjelasan lainnya yang juga memiliki otoritas yang setara, misalnya penjelasan dari mitos, dari agama, dsb. Masyarakat jangan dikungkung oleh metodologi keilmuan tertentu. Biarkan kebebasan dalam masyarakat, di mana semua penjelasan alam semesta hidup dan berkembang.
Konsep anything goes
Dalam bukunya berjudul Against Method dan Science in a Free Society, Feyerabend mempertahankan gagasannya bahwa tidak ada aturan metodologis tertentu yang selalu digunakan oleh para ilmuwan. Bagi dia, setiap metodologi ilmiah tidak lebih dari aturan yang sifatnya preskriptif dan jika digunakan atau dipakai dalam penelitian hanya akan membatasi aktivitas sang ilmuwan itu sendiri. Pekerjaan ilmuwan yang terhambat oleh metodologi dengan sendirinya akan membatasi pula kemajuan ilmu pengetahuan. Dari pada memaksakan suatu aturan yang kaku tertentu ke dalam serangkaian metodologi ilmiah, ilmuwan membiarkan saja segala sesuatu berjalan tanpa dibatasi oleh metodologi. Ilmuwan bahkan bisa belajar dari keadaan yang anarkis dan kacau sekalipun.
Feyerabend justru mempertanyakan, apakah metode ilmiah dengan klaim objektivitasnya dapat sungguh-sungguh menghasilkan pengetahuan yang tidak membahayakan manusia? Dan, apakah tidak mengikuti metodologi ilmiah tertentu hanya akan menghasilkan monster bagi manusia? Dia berpendapat, bahwa bahkan atas nama metodologi ilmiah sekalipun, ilmu pengetahuan ternyata bisa menghasilkan luaran yang justru membahayakan hidup manusia itu sendiri. Mengutip Kierkegaard, Feyerabend menulis: ”Is it not possible that my activity as an objective [or critico-rational] observer of nature will weaken my strength as a human being?” I suspect the answer to many of these questions is affirmative and I believe that a reform of the sciences that makes them more anarchic and more subjective (in Kierkegaard’s sense) is urgently needed. Against Method. p. 154).
Posisi atau pandangan yang dibela Feyerabend digolongkan sebagai pandangan radikal dalam filsafat ilmu. Disebut demikian karena filsafat filsafat tidak mampu menyediakan atau memberikan suatu deskripsi umum mengenai sains, juga tiadk mampu menyediakan sebuah metode yang bisa membedakan produk-produk yang dihasilkan sains sendiri dengan produk-produk yang dihasilkan pseudosains.
Imre Lakatos
Bukunya yang terkenal berjudul Criticism and Methodology of Scientific Research Programmes (1968. Dia menganggap Thomas Kuhn tidak memahami falsifikasi dengan benar. Menurut Lakatos, bukan teori tunggal yang harus dinilai sebagai ilmiah atau tidak ilmiah, tetapi rangkaian teori-teori.
Rangkaian teori-teori ini dihubungkan oleh suatu kontinuitas yang menyatukan teori-teori tersebut menjadi program-program riset. Dalam program riset ada aturan-aturan metodologis yang dibedakan menjadi: (1) yang memberitahu cara atau jalan mana yang harus dihindari (heuristik negatif); dan (2) cara atau jalan mana yang harus dijalankan (heuristik positif). Heuristik positif = inti program yang dilindungi dari upaya falsifikasi. Lapisan pelindungnya adalah hipotesa pendukung, kondisi-kondisi awal.
Dalam penelitian, yang pada akhirnya menang adalah program riset yang mampu mengembangkan isi empiris lebih besar dan derajat koroborasi (confirmation/support by further evidence) empiris yang lebih tinggi.
Bagi Lakatos, bahkan teorema matematika sekalipun tidak bisa langsung dibenarkan hanya karena belum ada kontra teorema baru. Bahkan teorema matematika pun adalah
conjecture (dugaan. Bersifat quasi-empiricism) yang akan diuji melalui contoh-contoh yang berbeda (counterexample). Inilah yang disebutnya sebagai refutation. Di sini ilmu pengetahuan berkembang maju dalam proses CONJECTURE —> REFUTATION.
Berusaha mendamaikan pemikiran Popper dan Kuhn mengenai perkembangan ilmu pengetahuan. Bagi Popper, melalui falsifikasi, ilmuwan akan berhenti mengacu atau membandingkan teori keilmuan tertentu dengan fakta-fakta. Teori keilmuan harus segera ditinggalkan jika ilmuwan menemukan adanya falsifying evidence.
Sementara Kuhn melihat bahwa dalam periode sains normal para ilmuwan tidak sibuk dengan falsifikasi, tetapi justru berusaha memajukan ilmunya dengan meningkatkan kemampuan menjelaskan dari ilmu mereka. Bahkan ketika berhadapan dengan keadaan anomali pun ilmuwan tetap menaruh harapan pada paradigma yang mereka anut sebagai yang memiliki kemungkinan menjelaskan. Peralihan teori baru terjadi ketika tidak bisa diandalkan lagi. Di sini Popper tidak sedang berbicara mengenai perilaku aktual ilmuwan, sementara Kuhn berbicara mengenai perilaku aktual ilmuwan.
Preokupasi Lakatos adalah menemukan metodologi keilmuan tertentu yang sanggup mengakomodasi pemikiran Popper dengan Kuhn. Bagi Lakatos, apa yang menurut kita adalah teori, barangkali lebih merupakan semacam suksesi berbagai teori yang berbeda dan teknik-teknik eksperimentasi yang telah berkembang dan dikembangkan selama periode tertentu. Di mana berbagai teori itu memiliki common idea tertentu yang dia sebut dengan istilah ‘hard core’. Lakatos menyebut rangkaian perubahan semacam ini dengan nama PROGRAM RISET (Research Programmes).
Setiap ilmuwan yang terlibat dalam sebuah “Program Riset” akan berusaha untuk melindungi wilayah teoretis (the theoretical core) dari upaya falsifikasi. Perlindungan ini dilakukan ilmuwan dengan melindungi wilayah teoretisnya di bawah sabuk pelindung auxiliary hypotheses. Dan ini sah-sah saja.
Bagi Lakatos, daripada mengajukan pertanyaan apakah sebuh hipotesa adalah benar atau salah, lebih baik mengajukan pertanyaan apakah sebuah “program riset” lebih baik dari program riset lainnya supaya ada dasar rasional bagi ilmuwan untuk mempertahankan dan melanjutkannya. Dalam kasus tertentu “program riset” tertentu dapat dideskripsikan sebagai PROGRESIF, sementara di kesempatan lain bersifat MEROSOT (degenerating).
Program riset yang progresif ditandai oleh pemkembangan program itu sendiri, terutama ketika ditemukannya fakta-fakta baru yang mencengangkan, perkembangan teknik-teknik eksperimentasi baru, prediksi-prediksi yang lebih tepat,, dst. Sementara “program riset” yang bersifat merosot ditandai oleh kurangnya pertumbuhan, atau bertumbuhnya sabuk pelindung yang tidak mengarah kepada faktafakta baru. (Atma Jaya Semanggi, Yeremias Jena, 19 Mei 2010).
 http://kuliahfilsafat.wordpress.com/2010/05/19/dimensi-dinamis-ilmu/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar